PEMBICARAAN SEJATI
PEMBICARAAN SEJATI
82. Berbicara adalah kemampuan unik manusia. Dengan berbicara kita dapat berkomunikasi dengan sesama kita dengan sangat tepat. Dengan berbicara secara benar, kita dapat saling mengerti, saling meredakan keresahan, saling membantu dengan berbagai cara melalui kata-kata kita. Sebaliknya bila kita berbicara tidak semestinya, kita dapat menyakiti diri kita dan diri orang lain; itulah seperti yang dikatakan Sang Buddha sebagai memiliki pedang dimulut.1 Oleh karenanya mengembangkan Pembicaraan Sejati (samma vaca) merupakan aspek yang sangat penting dalam Latihan Etika. Sang Buddha seringkali menggambarkan ciri dari Pembicaraan Sejati. Pada suatu kesempatan Sang Buddha bersabda:
Kata-kata yang mempunyai empat nilai adalah yang diucapkan baik, bukan pembicaraan jahat, tidak salah, dan tidak dicela para bijaksana. Apa empat itu? Mengenai ini, seorang berbicara dengan kata-kata yang indah, bukannya buruk; seorang berbicara dengan kata-kata yang benar, bukannya salah; seorang berbicara dengan kata-kata yang halus, bukannya kasar; seorang berbicara dengan kata-kata penuh kebenaran, bukan kepalsuan.2
Beliau berkata, bahwa sabda Beliau adalah penuh kebenaran, berguna, diutarakan pada saat yang tepat dan didorong oleh kasih-sayang. Dari pernyataan Beliau ini kita dapatkan petunjuk atau definisi dari Pembicaraan Benar.3
83. Sang Buddha menggambarkan ucapan benar seperti ini:
Mengenai hal ini, seorang tidak lagi berbohong dan selamanya menghindarinya. Bila dia bersaksi di pengadilan warga, pertemuan warga, rukun warga, atau mahkamah agung, dan ditanya: “Katakan pada kami, orang yang baik, apa yang engkau ketahui?” bila ia tidak tahu, dia berkata: “Saya tidak tahu,” dan bila dia mengetahui, dia berkata: “Saya tahu.” Apabila dia tidak melihat, dia berkata: “Saya tidak lihat,” dan apabila dia melihat, dia berkata: “Saya lihat.” Dia tidak akan sengaja berbohong, baik untuk keuntungan dirinya sendiri, keuntungan orang lain ataupun demi kesenangan duniawi lainnya.4
Jelas, berbicara dalam kebenaran (sacca) berarti menghindari kebohongan, pembicaraan mendua (tidak konsisten), melebih-lebihkan, kebenaran setengah-setengah; berbicara dalam kebenaran berarti berbicara hanya sesuai kenyataan yang diketahui. Seperti telah kita pelajari sebelumnya, kehendak yang muncul sebelum berbuat sesuatu sangatlah berperan. Seseorang dapat saja mengatakan suatu kebenaran tapi disertai keinginan untuk menyakiti hati dapat saja menutup kebenaran atau malah berbohong tanpa pertimbangan dan kebijaksanaan. Kebenaran hendaknya tidak digunakan untuk menyakiti hati seseorang, bila kebenaran yang merugikan seseorang harus diutarakan, maka harus dilakukan dengan hati-hati, penuh pertimbangan dan tenggang rasa. Demikian pula, hendaknya kita hanya terpaksa menutupi kebenaran atau berbohong, apabila tidak ada pilihan lain dan kita telah mawas pada kemungkinan kepentingan-kepentingan pribadi. Namun dalam kebanyakan situasi, kejujuran tetaplah cara terbaik. Bila kita telah berbicara dengan benar, kita tidak pernah kwatir pada kemungkinan ketahuan berbohong dikemudian hari, dan kita tidak akan terjerat dengan kebohongan baru untuk menutupi kebohongan-kebohongan sebelumnya. Menjadi jujur adalah memiliki hati-nurani yang sejati, dapat dipercayai, dapat diharapkan dan dihargai oleh sesamanya.
84. Telah kita lihat sebelumnya bahwa dari satu sudut pandang, agama Buddha mengenal dua macam hal-hal yang intrinsik dan hal sebagai sarana (67); semua perkataan/pembicaraan yang membantu terwujudnya kedua macam hal tadi, dapat disebut sebagai bermanfaat. Nibbana, adalah suatu hal yang intrinsik, jadi mengajarkan Dhamma, mendiskusikannya, dan menerangkannya kepada yang lain atau mencetaknya dalam bentuk buku (karena bahasa tulisan adalah bahasa lisan yang dapat terlihat) adalah tujuan yang termulia dari segala kata-kata yang dapat kita ucapkan.
Sang Buddha tertutur dengan kata-kata yang menuntun
menuju kemenangan pada kedamaian,
Pengakhiran kesengsaraan, dan
Pencapaian Nibbana.
Sebenarnya, inilah kata-kata termulia.5
Sang Buddha mengharapkan agar Dhamma ajarannya disebar luaskan sedemikian rupa sehingga semua orang dapat belajar hidup berbahagia dan damai; dan dia mengharapkan agar seluruh Siswa-Nya membagi kepada orang-lain, apa yang oleh Beliau telah bagi pula pada mereka.
Bila dia tak berbicara, orang tak akan mengenalnya;
Dia hanyalah orang bijaksana ditengah orang bodoh
Tapi kalau dia berbicara dan mengajarkan Kebenaran,
Orang lain akan mengenalnya.
Oleh karenanya hendaknya dia membabarkan Dhamma,
Hendaknya dia mengibarkan panji kebijaksanaan itu tinggi-tinggi.6
Tentu saja, membagi pengetahuan Dhamma pada orang lain bukanlah sekadar berbicara dengan lantang tentang keyakinan kita. Seyogyanya ada keselarasan antara apa yang kita coba babarkan dan cara kita membabarkannya, kita haruslah peka pada keyakinan-keyakinan orang lain, pula harus dipahami bahwa ada tipe manusia yang memang tidak akan pernah tertarik pada Dhamma. Praktek-praktek dalam penyebar-luasan agama seperti pembicaraan-mendua (berubah-ubah/tidak konsisten), menakut-nakuti, membagi-bagi hadiah atau menjanjikan kesempatan kerja, sangat tidak sejalan dengan semangat Buddhis. Cara seperti itu malah hanya akan menumbuhkan ‘egoisme’, kompromi (merubah/menyesuaikan doktrin keagamaan sendiri), intoleransi; bukannya keyakinan sejati pada agama sendiri dan tenggang rasa pada orang lain. Sang Buddha menekankan perlunya pertimbangan yang mendalam sebelum memperkenalkan Dhamma kepada orang lain.
Sebenarnya, tidaklah mudah mengajarkan Dhamma kepada orang lain, terlebih dahulu kembangkan secara baik lima hal, lalu setelah itu ajarkanlah Dhamma. Apa yang lima itu? Ajarkan Dhamma pada orang lain, dengan berpikir: “Saya akan menyampaikan Dhamma secara bertahap; saya akan berbicara dengan kemauan baik; saya akan berbicara dengan hati yang bersih; saya tidak akan berbicara demi kepentingan sendiri; saya tidak akan berbicara yang merugikan diri sendiri, maupun diri orang lain.”7
Yang mulia Sariputta, salah satu murid utama Sang Buddha, memberi nasehat yang sama:
Apabila seseorang berharap mengajar pada yang lainnya, hendaknya dia mengembangkan terlebih dahulu lima hal sebelum mengajar. Apa yang lima itu? Hendaknya dia berpikir: “Saya akan berbicara pada waktu yang tepat, bukan pada waktu yang salah. Saya akan berbicara tentang apa yang adalah, bukan tentang apa yang bukanlah. Saya akan berbicara dengan lemah-lembut, bukan dengan kekerasan. Saya akan berbicara tentang yang baik, bukan tentang apa yang tidak baik. Saya akan berbicara dengan hati dipenuhi cinta-kasih, bukan dengan pikiran yang dipenuhi keinginan-jahat.”8
Terpisah dari nilai-nilai diatas, Sang Buddha juga berkata bahwa cara penyampaian yang jelas, disertai keyakinan dan kemampuan menjawab, juga sangat berperan dalam pembabaran Dhamma.
Bila seseorang mengajar mereka yang ingin belajar,
Tanpa keraguan dan kerahasiaan dalam pengertian,
Membuka segalanya dan tidak menyembunyikan ajaran,
Berbicara dengan menatap
Tidak marah bila mendapat pertanyaan
Bhikkhu seperti inilah yang berharga
Untuk membabarkan ajaran.9
Namun, tidak setiap orang mempunyai atau dapat mengembangkan keahlian ini, dan adalah penting untuk diingat bahwa kadang-kadang suatu penjelasan yang sederhana dan tulus tentang mengapa kita berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha lebih meyakinkan daripada pembabaran dan argumentasi yang sulit-sulit.
85. Pembicaraan yang menuntun pada hal-hal sebagai sarana (67) adalah juga berguna. Bila ada ketidaksesuaian atau perselisihan pendapat diantara dua orang, adalah mudah untuk membiarkan mereka bertengkar, bila kita tak dapat lagi mengubah keadaan dengan kata-kata. Kadang-kadang kemarahan, kebanggaan berlebihan dan keputusan untuk memilih cara kita sendiri; malah mempertajam pertengkaran diantara mereka. Kedamaian dan keserasian antara semua orang adalah sesuatu yang indah; menahan diri untuk berbicara yang tidak terpuji dan berbicara demi kedamaian dan pengertian adalah dengan cara tertutur secara baik. Menyangkut ini, Sang Buddha bersabda:
Tidak menfitnah, tidak mengulangi disana sesuatu yang didengarnya disini, atau mengulangi disini apa yang didengarnya disana, dengan tujuan agar orang bertengkar. Jadi, merujukkan mereka yang telah terpisah dan menserasikan mereka yang telah bersatu, bergembira dalam keserasian; keserasian menjadi pendorong baginya dalam berbicara.10
Lalu, tentunya pula, semua yang kita katakan hanya akan berguna bila mempunyai kepenadaan dengan yang dipertanyakan, bila maknanya jelas, bebas dari kerancuan bahasa, tidak berbelit-belit dan mudah dipahami oleh yang mendengarnya.
86. Tapi, tentunya, bukan materi bahasan saja yang akan menjadi sarana spiritual satu-satunya; pewaktuan (Inggeris: timing) yang tepat juga berperan. Kata-kata yang diucapkan pada waktu tertentu mungkin adalah tepat, tapi pada waktu yang lain mungkin tidak. Mengetahui saat yang tepat dan peka tentang waktu yang tepat untuk menyampaikan sesuatu, akan menyebabkan kata-kata kita lebih sangkil. Seperti kita ketahui sebelumnya, berbicara tentang Dhamma adalah sangat baik, tetapi berbicara terus-menerus mengenai Dhamma juga tidaklah tepat. Seseorang yang hanya mau menang sendiri dalam setiap kesempatan berbicara, hanya membicarakan hal-hal yang disenanginya, akan tidak menyadari bahwa lawan bicaranya tidaklah tertarik lagi, malah dapat menyebabkan ketidaksenangan pada dirinya dan juga pada obyek pembicaraannya tadi.
87. Kritik adalah suatu tipe lain dari pembicaraan, yang pada satu pihak adalah penting bagi seorang untuk mengetahui sesuatu lebih baik atau bagi mereka yang mau membantu yang lainnya untuk mengetahui sesuatu, namun juga memerlukan pewaktuan yang tepat. Sering seorang kawan dapat melihat noda dalam watak kita yang perlu kita ketahui tapi kita sendiri tidak melihatnya; menyadarkan seseorang akan hal itu sangatlah bermanfaat. Agar konstruktif adalah penting mempertimbangkan waktu dalam menyampaikan kritik pada seseorang; mengkritik seseorang didepan orang banyak, mengkritik pada suasana yang masih panas, atau terus-menerus mengkritik mungkin malah menyebabkan hasil yang sebaliknya dari yang diharapkan. Demikian pula, kritik apa saja yang kita lontarkan pada orang lain hanya dapat diterima bila kita sendiri telah bersih dari kesalahan-kesalahan serupa. Sang Buddha berkata:
Seseorang yang ingin memperingati orang lain hendaknya meneliti dulu: “Apakah, saya adalah atau saya bukanlah, seorang yang melaksanakan kemurnian dalam ucapan dan tindakan? Apakah, saya pemilik atau saya bukanlah pemilik kemurnian dalam ucapan dan tindakan, tidak cacat dan tak bernoda? Apakah semua keadaan itu ada pada saya atau tidak? Apabila tidak, maka orang-orang tanpa ragu akan berkata: “Ayo, sekarang, perbaiki dulu olehmu sendiri tindakan dan ucapanmu.” Niscaya akan ada orang yang akan berkata demikian. Lagi, seseorang yang ingin memperingati orang lain hendaknya meneliti dulu: “Sudahkah saya mengembangkan kehendak baik, bebas dari pikiran jahat pada sesama, dalam kehidupan suci? Apakah semua keadaan itu ada pada saya atau tidak? Apabila tidak, maka orang-orang tanpa ragu akan berkata: “Ayo, sekarang, kembangkan dulu olehmu sendiri kehendak baik.” Niscaya akan ada orang yang akan berkata demikian.11
Disamping kritik konstruktif, maka penghargaan atau pujian yang tulus juga berperan dalam hubungan sosial dan pelaksana kehidupan Buddhis. Sang Buddha sering menyebut keadaan ini sebagai “dipuji oleh para bijaksana.” Hal ini disebabkan karena mereka yang peka biasanya telah memaklumi bahwa penghargaan atas usaha atau hasil jerih payah seseorang akan membangkitkan kegairahan dan kegembiraan. Tetapi pujian hendaknya pula diucapkan pada waktu yang tepat. Pujian bila tidak diucapkan semestinya hanya bernilai sedikit lebih rendah dibanding kebanggaan yang berlebihan. Penghargaan yang tidak diberikan semestinya menyebabkan seseorang kurang berani untuk terus melaksanakan sesuatu yang sudah tepat.
88. Selain masalah materi dan pewaktuan, hendaknya dipahami pula bahwa dalam beberapa keadaan; bila semua yang penting-penting telah ditekankan atau tidak ada lagi yang perlu disampaikan, maka kadang-kadang diam lebih baik daripada berbicara. Diam melengkapi bicara sama halnya keharuman melengkapi bunga. Diam memberi kesempatan pada orang lain untuk menyampaikan pikirannya dan memungkinkan kita untuk mendengarkan apa yang mereka pikirkan. Malah, ada beberapa perasaan yang akan lebih baik bila dikomunikasikan dengan berdiam daripada berbicara. Mereka yang penuh dengan kata-kata belum berarti penuh dengan kebijaksanaan. Sang Buddha berkata:
Belajarlah dari air,
Dari celah dan retakan gunung,
Menderu deras dari kawah uap
Namun mengalir dengan tenang di sungaiSesuatu yang kosong berbunyi nyaring,
Sesuatu yang penuh tidak berbunyi.
Yang bodoh seperti tempayan yang berisi separuh,
Yang bijaksana seperti kolam dalam yang tenang.12
Bila kita tidak menyadari nilai dari diam, kita cenderung senang berbicara, dan pembicaraan kita akan mudah dibumbui pergunjingan dan omongan tak berguna. Bila ini telah terjadi, maka tidak lama kemudian kata-kata tak senonoh yang menggusarkan orang lain akan turut terucapkan, lalu timbullah kesalahpahaman dan pertengkaran.
Bila ada pembicaraan yang memancing pertengkaran, akan banyak kata-kata, bila hanya kata-kata, seseorang mudah terpancing, seorang yang terpancing tak akan terkendali, dan bila seorang tak terkendali pikirannya akan kacau tak terpusat.13
Diam memberi kesempatan pada kita untuk merenung dengan tenang, menenangkan pikiran, memberi nilai tambah pada meditasi bahkan dapat menambah keagungan pada sifat kita. Mengetahui waktu yang tepat untuk berbicara dan waktu yang tepat untuk diam adalah suatu keahlian yang hendaknya dikembangkan oleh setiap pemeluk agama Buddha.
Perihal, orang yang bertutur kata dengan menyenangkan, Sang Buddha berkata:
Dengan tidak berkata-kata kasar, seseorang akan mengucapkan sesuatu yang tak akan dipersalahkan, menyenangkan didengar, dapat diterima, berkenan di hati, sopan, menyenangkan dan disenangi oleh semua orang.14
Bila pembicaraan kita ditandai dengan bentakan keras, kasar dalam melampiaskan ketidaksenangan atau mempersalahkan seseorang, maka ucapan kita akan jauh dari menyenangkan. Dalam bertutur, kata-kata Sang Buddha selalu “dapat diterima dengan baik, sopan dan mengundang simpati”; bila kita hendak mengembangkan Pembicaraan Sejati, hendaknya kita menteladani Beliau.15
89. Dunia diliputi penderitaan; bila kita tidak lagi berbicarakan hal-hal yang dapat memecahbelah persahabatan atau menyakiti hati orang, kita dengan demikian tidak lagi turut menyebabkan penderitaan tersebut. Dengan kata-kata yang tepat, malah kita dapat berperan positif dalam meredakan sakit-hati dan menyembuhkan keperihan seseorang yang disebabkan oleh orang lain.Terkadang, dalam suatu situasi kita tidak dapat menyumbangkan apa-apa lagi untuk meringankan penderitaan seseorang, tapi dalam kasus seperti ini, mengucapkan sesuatu selalu akan berarti. Kasih-sayang, selain melunakkan hati, juga memberi kekuatan dan keberanian. Bila kita berbicara didasari kasih-sayang, kita akan siap untuk berbicara lantang melawan ketidakadilan, kita akan menghibur dan menenangkan mereka yang tertekan, kita akan mendapat keberanian untuk menyarankan mereka yang lain agar mereka merubah sikap mereka atau mempertimbangkan kembali rencana-rencana mereka (bila rencana-rencana tersebut akan merugikan segala pihak). Suatu kejadian dalam kehidupan Sang Buddha menekankan hal ini dengan baik.
Dikisahkan, bahwa suku Sakya dan suku Koliya bekerja sama membendung air sungai Rohini antara Kapivatthu dan Koliya, lalu bercocok tanam diatas tanah di kedua seberang sungai. Di bulan Jetthamula, tanaman mulai layu, oleh karenanya para petani dari kedua dusun mulai berunding. Orang-orang Koliya berkata: “Apabila air sungai dialirkan ke kedua seberang sungai, maka airnya tidak akan cukup bagi kedua pihak kita. Karena saat ini tanaman-tanaman kami akan dituai dengan sekali diairi saja, maka berikan dulu air itu pada kami.” Tapi orang-orang Sakya menjawab: “Setelah lumbung-lumbungmu penuh, kami tidak dapat bertebal-muka membawa barang-barang berharga kami dalam keranjang dan kantong, berjalan dari rumah ke rumah, dan mengemis darimu. Tanaman kami akan dituai dengan sekali diairi, oleh karenanya berikan dulu air itu dulu pada kami.”
“Kami tidak akan memberikannya padamu.”
“Kami juga tidak akan memberikannya padamu.”
Perundingan mulai memanas, seorang mulai memukul lawannya, pukulan lalu dibalas, perkelahianpun tak terhindari, begitu mereka mulai berkelahi merekapun saling menjelekkan asal turunan keluarga kerajaan yang lain. Pekerja suku Koliya berkata: “Bawalah anak-anakmu keasalmu. Bagaimana mungkin kita dikalahkan oleh gajah-gajah, kuda-kuda, perisai-perisai dan senjata-senjata dari mereka yang berperilaku seperti anjing dan serigala, berhubungan kelamin dengan saudara perempuannya sendiri. Suku Sakya menjawab: “Kau orang-orang lepra, bawalah anak-anakmu keasalmu. Bagaimana mungkin kita dikalahkan oleh gajah-gajah, kuda-kuda, perisai-perisai dan senjata-senjata dari orang-orang buangan tak berpunya yang hidup diatas pohon seperti binatang.”
Kedua kelompok lalu bubar dan melaporkan pertengkaran itu pada masing-masing ketua kelompok yang bertanggung jawab pada pekerja-pekerja itu, yang lalu melaporkannya lagi pada penguasa. Suku Sakya bersiap-siap berperang dan berkata: “Akan kita perlihatkan kekuatan dan kehebatan dari mereka yang berhubungan kelamin dengan saudara perempuannya sendiri.” Suku Koliya juga mempersiapkan perang dan berkata: “Akan kita perlihatkan kekuatan dan kehebatan dari mereka yang hidup diatas pohon seperti binatang.”
Saat itu, Sang Buddha melihat keadaan dunia dengan kewaskitaan-Nya pada subuh hari itu, Beliau melihat kerabat-kerabat-Nya dan berpikir: “Bila tidak saya lerai, orang-orang ini akan saling bunuh. Adalah kewajibanku untuk pergi menemui mereka.” Dengan terbang melalui udara Beliau kemudian pergi ke tempat para kerabat-Nya berkumpul, dengan duduk bersimpuh melayang di udara ditengah-tengah sungai Rohini. Ketika mereka melihat Beliau, para kerabat ini kemudian melempar senjatanya dan menyembah Beliau. Sang Buddha kemudian berkata: “Apa yang menyebabkan pertempuran ini, wahai Raja?” “Kami sebenarnya tidak begitu tahu secara jelas.” “Lalu bagaimana untuk mengetahuinya?” “Mahapatih mengetahuinya.”
Ketika ditanya Mahapatih menyarankan agar jelas menanyakan pada wakilnya. Demikian seterusnya satu demi satu ditanya, namun tidak ada yang mengetahui sejelasnya; sampai akhirnya para pekerja yang ditanya. Mereka menjawab: “Pertengkaran disebabkan oleh air.”
Lalu Sang Buddha berkata pada Raja: “Apa nilai dari air, Tuan Raja?”
“Hanya sedikit, Yang Mulia.”
“Apa nilai dari seorang pendekar perang?”
“Pendekar perang, Yang Mulia, sangat bernilai.”
Lalu Sang Buddha berkata: “Bila demikian tidaklah benar, bahwa demi air engkau mengorbankan para pendekarmu.” Mereka semua berdiam diri. “Tuan-tuan Raja, kenapa tuan-tuan bertindak seperti ini? Bila Saya tidak berada disini hari ini, engkau akan menyebabkan sungai tumpahan darah. Tindakanmu sangat tak berharga. Engkau hidup dalam kebencian, menyebarkan lima macam kebencian; Saya hidup penuh cinta-kasih. Engkau hidup disakiti nafsu; Saya hidup bebas dari kesakitan itu. Engkau hidup mengajar lima macam kesenangan indera; Saya hidup dengan rasa bahagia dan puas.16
Kejadian diatas menunjukkan, betapa kata-kata yang tak dikendalikan pikiran dapat menyebabkan pertikaian, betapa manusia mudah terbawa arus oleh permainan kata dan slogan-slogan, dan betapa seorang yang didorong kasih-sayang dapat merubah keadaan hanya dengan bertutur-kata sederhana. Suara tenang namun lantang penuh kasih-sayang dan alasan-alasan dapat memenangkan keganasan, angkara murka dan ketidak-tahuan. Bagi kita, kasih-sayang saja mungkin belum dapat menimbulkan keberanian dan ketakgentaran seperti Sang Buddha, tapi bila kita senantiasa merenungkan ajaran-Nya lewat tindakan dan kata-kata-Nya; kasih-sayang akan menjadi pendorong dibelakang tutur-kata kita.
Bila engkau berbicara pada yang lain, engkau mungkin saja berbicara pada waktu yang tepat atau waktu yang tidak tepat, sesuai kenyataan atau tidak, secara halus atau kasar, tentang yang benar atau yang salah, dengan pikiran dipenuhi cinta-kasih atau pikiran dipenuhi kebencian.
Dengan cara ini engkau hendaknya berlatih diri: “Batin kami tidak akan ternodai, juga kami tidak akan melontarkan kata-kata jahat, tapi dengan bijaksana dan penuh welas-asih, kami akan hidup dengan batin penuh cinta-kasih, tanpa kebencian.17
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home