Friday, June 03, 2011

Dapatkah Pikiran Mempengaruhi Kenyataan ?

DAPATKAH PIKIRAN MEMPENGARUHI KENYATAAN?

“Diri kita seutuhnya adalah hasil dari apa yang kita pikirkan.
Pikiran adalah segalanya. Kita adalah apa yang kita pikirkan.”
- Atribusi kepada Buddha Sidartha Gotama.

Menurut Dr. Joe Dispenza, setiap kali kita belajar atau mengalami sesuatu yang baru, ratusan juta saraf merespon secara otomatis.

Dr Dispenza menjadi terkenal dengan teori inovatifnya mengenai hubungan antara pikiran dan materi.

Barangkali beliau dikenal sebagai salah seorang ilmuwan yang tampil dalam acara dokudrama 2004 berjudul What the Cleep Do We Know, hasil kerjanya telah membantu menyingkap pikiran manusia yang luar biasa serta kemampuannya untuk menciptakan hubungan sinaptik dengan cara menfokuskan perhatian secara cermat.

Cobalah membayangkan: dalam setiap pengalaman baru, hubungan sinaptik tercipta di dalam otak kita.

Dengan setiap sensasi, pandangan, atau emosi yang tidak pernah diketahui sebelumnya, hubungan baru di antara lebih dari 100 ribu juta sel otak pasti akan terjadi.

Tetapi gejala ini memerlukan penguatan yang terfokus untuk bisa menghasilkan perubahan yang berarti. Jika pengalaman tersebut berulang lagi dalam waktu yang relatif pendek, hubungan akan menjadi lebih kuat. Jika pengalaman tidak terjadi lagi dalam waktu yang lama, hubungan bisa melemah atau hilang.

Ilmu pengetahuan dulu percaya bahwa otak manusia adalah statis dengan program-program yang tidak berubah banyak. Tetapi, penelitian terkini dalam ilmu saraf sudah menemukan bahwa pengaruh setiap pengalaman jasmani dalam organ berpikir manusia (dingin, ketakutan, kepenatan, kebahagiaan) semuanya bekerja membentuk otak manusia.

Jika angin sepoi-sepoi sejuk mampu mengangkat semua rambut di tangan kita, apakah pikiran manusia mampu menimbulkan sensasi sama dengan hasil identik? Barangkali kemampuannya lebih dari itu.

“Bagaimana jika dengan berpikir saja kimiawi dalam tubuh kita bisa begitu sering melonjak hingga di atas kondisi normal sehingga sistem pengaturan tubuh kita akhirnya mendefinisikan kondisi tidak normal tersebut menjadi kondisi biasa?” Coba lihat jawabannya di buku Dispenza 2007 “Evolve Your Brain, The Science of Changing Your Mind.” Prosesnya tidak kentara, mungkin selama ini kita tidak pernah mencurahkan perhatian sebanyak itu hingga sekarang.

Dispenza percaya bahwa otak sebenarnya tidak mampu membedakan sensasi fisik nyata dari sebuah pengalaman internal yang terjadi di tubuh. Sehingga, materi abu-abu kita bisa dengan mudah terpedaya mengubah diri sendiri ke dalam kondisi kesehatan yang buruk ketika pikiran kita terfokus secara kronis pada suatu pemikiran yang negatif.

Dispenza menjelaskan hal itu dengan merujuk pada eksperimen di mana subyek diminta berlatih memindahkan jari manis mereka pada alat yang dibebani pegas selama sejam dalam sehari selama empat minggu. Sesudah berulang kali melawan daya pegas, jari subyek menjadi 30 persen lebih kuat. Sementara itu, kelompok subyek lain diminta membayangkan melakukan hal yang sama tetapi tidak pernah menyentuh alat per sama sekali. Sesudah empat minggu latihan, kelompok ini mengalami peningkatan kekuatan jadi sebanyak 22 persen.

Bertahun-tahun, ilmuwan sudah mengamati cara di mana pikiran mendominasi materi. Dari efek plasebo (di mana orang merasa lebih baik sesudah mengonsumsi obat palsu) hingga praktisi Tummo (latihan dari Tibetan Buddhism di mana individu berkeringat ketika bersemadi pada temperatur di bawah nol derajat), pengaruh bagian “spiritual” manusia yang melampaui tantangan fisik di mana materi diatur oleh hukum fisik dan pikiran adalah sebuah hasil sampingan dari interaksi kimia di antara neutrons.

Melampaui Kepercayaan

Penyelidikan Dr Dispenza berawal dari waktu kritis dalam hidupnya. Sesudah ditabrak sebuah mobil ketika mengendarai sepedanya, dokter bersikeras bahwa tulang belakang Dispenza perlu dioperasi untuk bisa berjalan lagi - sebuah prosedur yang akan membuatnya merasa sakit kronis selama sisa hidupnya.

Tetapi, Dispenza, seorang chiropractor, memutuskan menantang ilmu pengetahuan dan merubah kondisi cacat tubuhnya melalui kekuatan pikiran, dan dia berhasil. Sesudah sembilan bulan menjalani program terapi secara fokus, Dispenza bisa berjalan kembali. Karena kesuksesan ini, dia memutuskan mendedikasikan hidupnya mempelajari hubungan antara pikiran dan tubuh.

Bermaksud menjelajahi kekuasaan pikiran untuk menyembuhkan tubuh, “brain doctor” sudah mewawancarai puluhan orang yang sudah mengalami “remisi spontan.” Ada juga individu dengan penyakit serius yang memutuskan mengabaikan pengobatan konvensional, dan sepenuhnya sembuh. Dispenza menemukan bahwa semua subyek ini mempunyai pemahaman yang sama, yaitu pikiran mereka menentukan kondisi kesehatan mereka. Sesudah mereka memusatkan perhatian untuk mengubah pemikirannya, penyakitnya sembuh secara ajaib.

Ketagihan Emosi

Dispenza menemukan bahwa manusia sebenarnya mempunyai ketagihan yang tidak disadari terhadap emosi tertentu, negatif dan positif. Menurut penelitiannya, emosi dapat mengikat orang melakukan tindakan secara ber-ulang, berkembang menjadi “ketagihan” dengan kombinasi bahan kimia tertentu di otak dengan frekuensi tertentu.

Tubuh menanggapi emosi ini dengan bahan kimia tertentu dan pada akhirnya mempengaruhi pikiran untuk mempunyai emosi yang sama. Dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa orang penakut dalah “ketagihan” terhadap rasa ketakutan. Dispenza menemukan bahwa ketika otak individu seperti itu dapat membebaskan dirinya sendiri dari keterikatan kombinasi kimia rasa takut, reseptor otak dari bahan seperti itu juga akan terbuka. Hal yang sama terjadi dengan depresi, kemarahan, kekerasan, dan nafsu lain.

Namun, banyak orang skeptis dengan kesimpulan Dispenza, meskipun sudah terbukti bahwa pikiran bisa mengubah kondisi fisik manusia. Umumnya dihubungkan sebagai ilmu pengetahuan pseudo, teori “percaya realitasmu sendiri” terdengar tidak ilmiah.

Ilmu pengetahuan mungkin tidak siap mengakui bahwa fisik bisa diubah melalui kekuatan pikiran, tetapi Dr Dispenza meyakinkan hal itu memerlukan suatu proses.

“Kita tidak perlu menunggu ilmu pengetahuan untuk memberikan izin untuk melakukan yang tak biasa atau hal lain yang mereka katakan benar. Jika hal itu terjadi, berarti kita menganggap ilmu pengetahuan sebagai bentuk agama yang lain. Kita sebaiknya tidak menjadi orang yang konvensional, kita sebaiknya berlatih melakukan sesuatu yang luar biasa. Jika kita bisa konsisten dengan kemampuan kita, berarti kita sama dengan menciptakan ilmu pengetahuan baru,” tulis Dispenza. (Leonardo Vintini/The Epoch Times/rob)

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home