Keajaiban pikiran manusia
Tentunya kita tidak asing lagi mendengar kata ‘pikiran’. Setiap saat kita selalu berpikir dan menggunakan pikiran kita. Semua aktivitas kita yang kita lakukan didahului pikiran. Begitu pula di dalam ajaran Buddha, pikiran menempati urutan yang sangat penting. Berkali-kali Buddha mengatakan bahwa pikiranlah yang mendahului dan menjadi penentu utama dalam setiap tindakan.
Satu hal yang perlu ditanyakan ke dalam diri adalah apakah kita betul-betul memahami apa yang dimaksud dengan pikiran itu? Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pikiran diartikan sebagai berikut: hasil berpikir, ingatan, akal, gagasan dan niat atau maksud.
Kita sebagai umat manusia, yang dikaruniai akal, budi dan pikiran. Dimana akal, budi dan pikiran ini yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Dengan akal, budi dan pikiran inilah manusia mampu membedakan mana yang baik dan yang tidak baik; yang benar dan yang salah dan lain sebagainya. Buddha dalam Dhammapadha syair 1 dan 2 mengajarkan: “Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya; bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran baik, maka kebahagiaan akan mengikutinya bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya”.
Semua agama mengajarkan kebenaran dan mengajak umat manusia untuk berbuat baik; hanya cara, bahasa, metode yang digunakan mungkin yang berbeda. Maka yang paling utama adalah manusianya itu sendiri yang mau jadi orang baik atau tidak, sedangkan jalan yang dia pilih bisa apa saja (sesuai kecocokan hatinya).
Bahwa saat manusia sudah mampu untuk menghindari kejahatan dan selalu memupuk kebajikan, baik dalam ucapan, pikiran maupun tindakannya berikut pelatihan terhadap batinnya (samadi/meditasi) agar bisa terbebas dari kekotoran batin, maka sebenarnya manusia yang seperti itu sudah tidak membutuhkan jalan (agama) lagi.
Kalau kita memperhatikan apa yang diajarkan Buddha dalam Dhammapada syair 1 dan 2, bahwa segala hal yang terjadi di dalam kehidupan kita semuanya berawal dari pikiran kita (pikiran adalah pelopor). Bahkan hal itu juga termasuk pada proses pembentukan manusia oleh orang tuanya. Kalau melihat kenyataan yang terjadi dalam kehidupan, sering dalam hati kita muncul pertanyaan, tentang mengapa ada orang tua yang sangat baik tapi memiliki anak yang jahat dan mengapa ada orang tua yang sangat jahat tapi memiliki anak yang sangat baik. Salah satu makalah Bhante Uttamo yang pernah saya baca, berhubungan dengan pertanyaan tersebut, beliau menjawab “bahwa kejadian semacam itu juga sangat erat kaitannya dengan pikiran, hanya saja tidak banyak orang yang menyadari”.
Bhante menegaskan bahwa meskipun sepasang suami istri itu adalah orang baik, namun apabila pada saat proses pembuahan, orang tuanya tidak menjaga batinnya agar selalu dalam Dharma, maka hasilnya juga buruk.
Dikatakan pada salah satu Sutra Buddhis, bahwa pada saat proses pembuahan sebenarnya proses kehidupan sudah terjadi dikarenakan adanya arus kehidupan yang telah masuk (proses tumimbal lahir), oleh karena itu, seorang manusia yang baru lahir, dalam konsep Buddhis, sudah berusia sembilan bulan (karena dihitung dari awal arus kehidupannya memasuki embrio hasil pembuahan). Itulah sebabnya juga, mengapa aborsi tetap dianggap pembunuhan (di dalam konsep Buddhis) meski untuk sebuah embrio yang baru berumur satu hari sekalipun (tidak seperti konsep medis, yang menganggap bahwa aborsi terjadi bila embrio sudah berbentuk janin).
Dalam makalah Bhante Utamo juga mengungkapkan bahwa orang tua yang baik tapi memiliki anak yang jahat bisa saja terjadi akibat dari pikiran orang tuanya pada saat proses pembuahan, hanya memikirkan nafsu birahi semata. Sedangkan orang tua yang jahat namun bisa memiliki anak yang baik, bisa dikarenakan pada saat proses pembuahan terjadi, mereka berdua mempunyai harapan (yang terpancar di dalam pikirannya) semoga mereka memiliki anak yang berbakti, maka anak mereka besar kemungkinan menjadi anak yang baik. Memang menurut Bhante ada faktor-faktor lain yang mendukung, misalnya hukum karma dan sebab musabab yang saling berkesinambungan, namun yang paling utama tetap adalah menjaga batin dan pikiran agar selalu senantiasa di dalam Dharma.
Dari pengalaman yang kita alami, segala yang kita lakukan, semuanya didahului oleh pikiran. Misalnya ketika kita menolong, sebelumnya pikiran kita pasti ada niat untuk menolong, mungkin didasari welas asih atau simpati. Sebaliknya ketika kita berbohong, pasti ada alasan dalam pikiran yang mendahului di balik kebohongan yang kita lakukan melalui ucapan. Mungkin rasa takut, benci atau keinginan serakah dalam diri.
Demikianlah apa yang dapat saya tuliskan tentang keajaiban pikiran manusia pada kesempatan ini. Besar kemungkinan banyak hal-hal yang tidak tertulis dengan baik karena keterbatasan pikiran saya. Namun mudah-mudahan apa yang disampaikan kiranya tetap bisa memberikan manfaat bagi para pembaca. Selamat berbuat kebajikan dan semoga selalu berbahagia, Saddhu.
Satu hal yang perlu ditanyakan ke dalam diri adalah apakah kita betul-betul memahami apa yang dimaksud dengan pikiran itu? Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pikiran diartikan sebagai berikut: hasil berpikir, ingatan, akal, gagasan dan niat atau maksud.
Kita sebagai umat manusia, yang dikaruniai akal, budi dan pikiran. Dimana akal, budi dan pikiran ini yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Dengan akal, budi dan pikiran inilah manusia mampu membedakan mana yang baik dan yang tidak baik; yang benar dan yang salah dan lain sebagainya. Buddha dalam Dhammapadha syair 1 dan 2 mengajarkan: “Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya; bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran baik, maka kebahagiaan akan mengikutinya bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya”.
Semua agama mengajarkan kebenaran dan mengajak umat manusia untuk berbuat baik; hanya cara, bahasa, metode yang digunakan mungkin yang berbeda. Maka yang paling utama adalah manusianya itu sendiri yang mau jadi orang baik atau tidak, sedangkan jalan yang dia pilih bisa apa saja (sesuai kecocokan hatinya).
Bahwa saat manusia sudah mampu untuk menghindari kejahatan dan selalu memupuk kebajikan, baik dalam ucapan, pikiran maupun tindakannya berikut pelatihan terhadap batinnya (samadi/meditasi) agar bisa terbebas dari kekotoran batin, maka sebenarnya manusia yang seperti itu sudah tidak membutuhkan jalan (agama) lagi.
Kalau kita memperhatikan apa yang diajarkan Buddha dalam Dhammapada syair 1 dan 2, bahwa segala hal yang terjadi di dalam kehidupan kita semuanya berawal dari pikiran kita (pikiran adalah pelopor). Bahkan hal itu juga termasuk pada proses pembentukan manusia oleh orang tuanya. Kalau melihat kenyataan yang terjadi dalam kehidupan, sering dalam hati kita muncul pertanyaan, tentang mengapa ada orang tua yang sangat baik tapi memiliki anak yang jahat dan mengapa ada orang tua yang sangat jahat tapi memiliki anak yang sangat baik. Salah satu makalah Bhante Uttamo yang pernah saya baca, berhubungan dengan pertanyaan tersebut, beliau menjawab “bahwa kejadian semacam itu juga sangat erat kaitannya dengan pikiran, hanya saja tidak banyak orang yang menyadari”.
Bhante menegaskan bahwa meskipun sepasang suami istri itu adalah orang baik, namun apabila pada saat proses pembuahan, orang tuanya tidak menjaga batinnya agar selalu dalam Dharma, maka hasilnya juga buruk.
Dikatakan pada salah satu Sutra Buddhis, bahwa pada saat proses pembuahan sebenarnya proses kehidupan sudah terjadi dikarenakan adanya arus kehidupan yang telah masuk (proses tumimbal lahir), oleh karena itu, seorang manusia yang baru lahir, dalam konsep Buddhis, sudah berusia sembilan bulan (karena dihitung dari awal arus kehidupannya memasuki embrio hasil pembuahan). Itulah sebabnya juga, mengapa aborsi tetap dianggap pembunuhan (di dalam konsep Buddhis) meski untuk sebuah embrio yang baru berumur satu hari sekalipun (tidak seperti konsep medis, yang menganggap bahwa aborsi terjadi bila embrio sudah berbentuk janin).
Dalam makalah Bhante Utamo juga mengungkapkan bahwa orang tua yang baik tapi memiliki anak yang jahat bisa saja terjadi akibat dari pikiran orang tuanya pada saat proses pembuahan, hanya memikirkan nafsu birahi semata. Sedangkan orang tua yang jahat namun bisa memiliki anak yang baik, bisa dikarenakan pada saat proses pembuahan terjadi, mereka berdua mempunyai harapan (yang terpancar di dalam pikirannya) semoga mereka memiliki anak yang berbakti, maka anak mereka besar kemungkinan menjadi anak yang baik. Memang menurut Bhante ada faktor-faktor lain yang mendukung, misalnya hukum karma dan sebab musabab yang saling berkesinambungan, namun yang paling utama tetap adalah menjaga batin dan pikiran agar selalu senantiasa di dalam Dharma.
Dari pengalaman yang kita alami, segala yang kita lakukan, semuanya didahului oleh pikiran. Misalnya ketika kita menolong, sebelumnya pikiran kita pasti ada niat untuk menolong, mungkin didasari welas asih atau simpati. Sebaliknya ketika kita berbohong, pasti ada alasan dalam pikiran yang mendahului di balik kebohongan yang kita lakukan melalui ucapan. Mungkin rasa takut, benci atau keinginan serakah dalam diri.
Demikianlah apa yang dapat saya tuliskan tentang keajaiban pikiran manusia pada kesempatan ini. Besar kemungkinan banyak hal-hal yang tidak tertulis dengan baik karena keterbatasan pikiran saya. Namun mudah-mudahan apa yang disampaikan kiranya tetap bisa memberikan manfaat bagi para pembaca. Selamat berbuat kebajikan dan semoga selalu berbahagia, Saddhu.
Labels: Pikiran
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home