Friday, June 03, 2011

Shurangama sutra

ANANDA'S SEARCH FOR THE MIND IN SEVEN LOCATIONS1
[Ananda Mencari Pikiran di Tujuh Lokasi]
by*Ronald Epstein2
(Originally published in Vajra Bodhi Sea, March, 1975, pp. 17-23.)


Seri pertama dari argumen-argumen ajaran dalam Surangama sutra membicarakan koreksi Buddha atas kesalahan dari hipotesis tujuh lokasi dari pikiran yang diajukan oleh Ananda. Argumentsi adalah langkah pertama dalam pengembangan ajaran akan keseluruhan pelatihan. Berikut ini adalah sebuah synopsis dari argumentasi.

SETTING
Ketika Ananda melewati sebuah prostitusi saat pindapatta, kekuatan samadhinya mengecewakan sehingga seorang PSK bisa menggunakan ilmu hitam non-Buddhis untuk mempengaruhi Ananda menuju tempat tidur bersamanya. Begitu Ananda hamper saja melanggar sumpahnya/sila, begitu pentingnya bagi Buddha untuk mengirim Bodhisattva Manjusri menyelamatkannya. Pulang ke Jetavana, Ananda , yang menyadari bahaya dari lemahnya kekuatan samadhinya, memohon Buddha agar mengajarkannya hanya tiga tipe samadhi yang dikenalinya, ?samatha, samapatti, dan Dhyana yang mengagumkan, langkah pertama utama para Tathagata di sepuluh penjuru dalam mencapai Bodhi.? Sebelum menjawab permintaan Ananda, Buddha mempersiapkan dasar dengan pertama-tama mengajukan sekelumit pertanyaan kepada Ananda. Buddha memulai dengan menanyakan motif Ananda meninggalkan kehidupan perumah tangga. Ananda mengatakan bahwa ia melakukannya karena ia telah jatuh cinta pada kualitas fisik Buddha yang melampaui duniawi.
Kemudian Buddha memberi tahu Ananda bahwa kelahiran kembali disebabkan oleh ketidaktahuan akan subtansi murni dan terang yang merupakan ?sifat dari pikiran sejati yang berdiam dalam keabadian,? dan bahwa pencerahan datang dari pemanfaatan khusus dari pikiran yang lurus dan terbuka.
Lalu Buddha bertanya tentang apa yang Ananda gunakan dalam menyukai dan menikmati penampilan fisik Buddha. Ketika Ananda menjawab bahwa ia menggunakan pikirn dan matanya, Buddha memberitahu bahwa merekanlah alasan Ananda teperangkap di dunia berkondisi. Dengan kata lain, sebelum Ananda dapat memahami berbagai tipe latihan menuju pencerahan, pertama-tama ia harus mampu membedakan antara pemikiran palsu dari kesadaran yang membeda-bedakan dengan kesadaran dari pikiran sejatinya. Karena itu, sebelum melakukan apapun, sangat penting bagi Ananda untuk menemukan di mana letak pikiran dan matanya. Di bawah ini adalah sinopsis tujuh usaha keras Ananda dalam mencari lokasi pikiran yang benar. Kemudian setiap argument Ananda akan dipatahkan oleh Buddha.

THE ARGUMENTS
Penting untuk mengingat bahwa dalam seluruh argument, apa yang dimaksud Ananda dengan ?pikiran? bukanlah organ jantung ataupun pikiran sejatinya; Ananda menganggap pikiran adalah kesadaran yang membeda-bedakan. Istilah-istilah yang berbeda-beda seperti ?kemampuan luar biasa pikiran? atau ?pikiran yang dimengerti sepenuhnnya dan dapat diketahui?, keduanya digunakan tapi pengertian yang dimaksud tetap sama.


Lokasi pertama
Awalnya Ananda mengatakan bahwa pikirannya terletak di dalam tubuh. Dengan memakai analogy, Buddha membuktikan kesalahan pandangan ini. Dalam dialog itu Ananda mengakui:
1. Ia dan Buddha ada di dalam aula dan aula ada di dalam Jetavana.
2. Karena ia ada di dalam aula, ia melihat isi aula lebih dulu baru kemudian taman di luar.
3. Ia bisa melihat ke luar karena pintu dan jendela terbuka.
4. Adalah tidak mungkin bila seseorang yang berada di dalam aula melihat ke luar tanpa bisa melihat isi aula.
Lalu Buddha menunjukan analogi bahwa situasi itu sama seperti model pikiran di dalam tubuh yang diajukan Ananda. Orang itu adalah pikiran Ananda; aula adalah tubuh Ananda; jendela dan pintu adalah indera persepsi (dalam kasus ini mata/penglihatan), dan taman adalah dunia luar. Ananda telah mengakui bahwa melihat taman tanpa melihat isi aula terlebih dahulu adalah tidak muingkin; Buddha melankutkan bahwa jika pikiran terletak di dalam tubuh, seharusnya pikiran dapat melihat isi tubuh sebelum melihat dunia luar. Dengan demikian, Ananda mengajukan lokasi lain.


Lokasi kedua
Ananda menyatakan bahwa pikiran terletak di bagian bawah tubuh, dan ia membuat analoginya sendiri dalam kasus ini. Ia menjelaskan bahwa sebuah lampu menerangi ruangan tempat lampu berada.; dan hanya bila pintu dibuka sinar lampu dapat keluar. Terlihat jelas bahwa analogy Ananda serupa dengan analogy Buddha sebelumnya. Ananda hanya menggantikan dirinya dan penglihatannya dengan lampu. Ia berpendapat bahwa karena kita hanya melihat dunia luar dan tidak dapat melihat isi tubuh, maka dalam analoginya, seharusnya lampu berada di luar menyinari halaman, bukan di dalam ruangan.
Buddha merespon dengan contoh dan menanyakan Ananda apakah seisi aula dapat menjadi kenyang hanya dengan salah satu orang makan. Ananda menjawab bahwa tubuh orang-orang terpisah dan berbeda satu sama lain, jadi hal itu tidak mungkin terjadi. Buddha lalu memberi contoh bahwa ada dua orang, satu makan dan yang lain tidak, dapat dianalogikan sebagai pikiran berada di luar tubuh dan karena itu trerpisah dari tubuh. Menggunakan analogy dengan cara yang sama, bila yang satu makan dan yang satu tidak, maka bila pikiran mengetahui sesuatu, seharusnya pikiran tidak menerima pengalaman itu. Begitu juga sebaliknya, ketika tubuh mengalami sesuatu, seharusnya pikiran tidak mengetahui pengalaman itu. Buddha kemudian menunjukkan bahwa model pikiran demikian tidak masuk akal. Buddha mengeluarkan tangannya dan menanyakan apakah pikiran Ananda mengenali persepsi akan tangan saat matanya (bagian dari tubuh) melihat tangan. Begitu Ananda mengakuinya, pikiran dan tubuh tidak bisa dikatakan masing-masing berdiri sendiri. Maka, pikiran bukan berada di luar tubuh.


Lokasi ketiga
Ananda kembali mencoba menyatakan bahwa pikiran pasti tersembunyi di dalam indera persepsi, dalam hal ini, mata. Ia mengklaim bahwa hubungan antara indera penglihatan dan pikiran dapat dianalogikan seperti kaca mata (tertulis bola kristal) dan mata, sehingga sebagaimana penglihatan tidak dihalangi oleh kaca mata, diskriminasi pikiran mengikuti penglihatan tanpa halangan apapun.
Di sini, Ananda kembali ke sebuah model yang mirip analogy sebelumnya. Sekarang, ia mengganti dirinya di dalam aula dengan indera mata, lalu jendela dan pintu dengan kaca mata. Tetapiada dua perbedaan. Pertama, ia telah mengatasi permasalahan melihat isi aula dengan meyakinkan bahwa ada halangan yang menutupi semua penglihatan kecuali penglihatan ke luar, dan yang kedua, meletakkan kaca di pintu dan jendela.
Poin Ananda yang kedua bermasalah. Ia mengakui bahwa kaca mata terlihat oleh orang yang memakainya, lalu Buddha menanyakan mengapa pikiran tidak melihat mata. Lebih jauh lagi, Buddha menunjukkan bahwa bila mata terlihat, maka menurut ajaran dasar Buddha mengenai perserpsi, secara definisi, mata termasuk dunia luar dan bukan bagian dari indera persensi. Karena itu, entah mata tamapk ataupun tidak, analogi Ananda jelas tidak sesuai.

Lokasi keempat

Untuk memperkuat alasannya dengan membatasi konsep dalam dan luar, Ananda menganggap bahwa yang gelap adalah bagian dalam dan yang terang adalah bagian luar, sehingga ia dapat kembali ke paham semula bahwa pikiran terletak di dalam tubuh. Karena sekarang isi tubuh dianggap berada dalam gelap, Buddha tidak bisa mengatakan bahwa pikiran seharusnya melihat oragan dalam terlebih dahulu. Pikirannya hanya bisa melihat apa yang terang melalui lubang-lubang tubuh.
Buddha menjatuhkan posisi baru Ananda dalam dua tahap. Pertama Buddha menyerang pendapat Ananda mengenai apa yang terlihat pastilah bukan yang di dalam dengan menganalisa kegelapan yang tampak saat mata tertutup. Berdasarkan ajaran Buddha mengenai persepsi, kegelapan yang tampak adalah lawan dari indera mata sehingga seharusnya berada di luar; maka dari itu, menganggap kegelapan berada di dalam tubuh tidak masuk akal. Lalu, tentang kasus kegelapan yang tampak saat mata terbuka, seperti sebuah ruangan yang gelap gurita. Buddha menunjukkan bahwa bila Ananda bersikeras bahwa semua kegelapan ada di dalam, maka semua keadaan gelap gurita di dunia luar harus dianggap berada di dalam tubuh.
Buddha mengantisipasi alasan Ananda tentang adanya peluang bahwa indera mata mungkin juga berinteraksi dengan sebuah keadaan internal untuk menghasilkan penglihatan akan kegelapan di dalam tubuh, sehingga walaupun ruangan gelap ada di luar, sebagian kegelapan yang tampak berada di dalam. Namun, bila dua hal yang berlawanan ini diformulasikan dalam kasus kegelapan yang tampak saat mata tertutup, lalu ketika mata terbuka, Buddha mengatakan seharusnya kegelapan di dalam tidak lenyap. Maka seharusnya seseorang bisa melihat wajahnya sendiri.
Bila Anda bisa melihat kegelapan di dalam dan terang di luar, maka, walaupun wajah tidak dapat dilihat sebagai bagian dari dunia luar, seharusnya wajah dapat dilihat sebagai sisi di dalam. Dengan kata lain, saat Anda membuka mata dan melihat dunia luar, Anda tidak dapat membalikkan penglihatan Anda untuk melihat wajah Anda, mengapa Anda mengatakan bahwa saat mata tertutup Anda memutar penglihatan ke dalam dan melihat kegelapan dalam tubuh?
Bila wajah dapat terlihat, bila ia menjadi bagian dari dunia luar pada umumnya, seharusnya ia berada di luar terpisah dari mata dan pikiran seseorang. Tapi karena wajah adalah bagiandari tubuh, maka mata dan pikiranlah yang melayang-layang di udara terpisah dari tubuh. Buddha melanjutkan penjelasannya bahwa bila mata dan pikiran Ananda bukan bagian dari tubuhnya, maka tubuhnya juga merupakan satu objek eksternal yang dilihat dengan cara yang sama. Begitu juga, bila seseorang masih menganggap mereka bagian dari tubuh, maka pikiran dan mata lain yang berada di luar tubh harus dipandang dengan cara yang sama. Karena itu, Buddha menyimpulkan bahwa dalam kasus ini Tathagata yang sedang melihat wajah Ananda seharusnya merupakan bagian dari tubuh Ananda.
Di bagian kedua penyanggahannya, Buddha mengubah penekanannya dari apa yang dilihat menjadi siapa yang melihat. Buddha menunjukkan bahwa bila mata dan pikiran terpisah dari tubuh, maka saat seseorang menempatkan kesadaran dalam mata dan pikiran, tubuh akan tertinggal tanpa kesadaran. Jika seseorang bersikeras keduanya memiliki kesadaran yang berbeda, dengan demikian ada dua tempat penyimpanan ingatan, dan dua susunan kesadaran yang berbeda, maka seharusnya ada dua pribadi yang berbeda. Maka, Buddha menyimpulkan ?dengan satu tubuh seharusnya Anda menjadi dua (tubuh fisik) Buddha.?


Lokasi kelima
Karena ia gagal dengan pemikirannya sendiri, Ananda lalu mencoba mengaplikasikan pengetahuannya akan ajaran Buddha mengenai sebab musabab yang berkondisi dalam permasalahan ini. Ia menyimpulkan bahwa pikiran tidak memiliki lokasi tertentu tapi muncul dari penyatuan dengan sebab-sebab yang penting dan sesuai dengan kemunculannya di mana pun lokasinya.
Buddha membahas kerumitan pandangan baru Ananda dalam hubungannya dengan substansi/bahan penyusun dan lokasi pikiran.

1. Bila pikiran tidak memiliki substansi, maka ia bukan (a) tidak punya lokasi ataupun (b) punya lokasi.
2. Bila pikiran bersubstansi, maka (a) agar sesuai dengan kondisi, ia harus memiliki tepat tertentu sebagai pusat pergerakan dari serangkaian kondisi menuju kondisi berikutnya, dan (b) ia seharusnya terdiri dari satu substansi tunggal yang menyebar ke seluruh bagian tubuh ataupun beberapa substansi.

(1a) Bila pikiran itu sendiri tidak bersubstansi, maka tidak masuk akal mengatakan tentang pikiran menyatu dengan sesuatu yang lain.
(1b) Jika pikiran memiliki lokasi tanpa memiliki substansi, ia berada di luar delapan belas elemen kesadaran, yang jelas-jelas tidak mungkin.

(2a) Berdasarkan kasus ?mencubit? tubuh, Buddha menunjukkan bahwa tidak masuk akal membicarakan tentang pikiran yang memiliki substansi tanpa lokasi tertentu. Menurut teori Ananda, pikiran tidak dapat terwujud sebelum kondisi yang tepat muncul. Karena sebuah cubitan terletak pada batas antara luar dan dalam, lalu sebelum kemunculan kondisi yang tepat bagi pikiran untuk terwujud di lokasi itu, substansi pikiran seharusnya terletak di dalam dan di luar tubuh, di posisi mana telah dibuktikan tidak benar.
Pada titik ini, Ananda membuat sanggahan mendasar terhadap argument Buddha dan menyatakan bahwa matalah yang melihat dan pikiran yang mengetahui. Mata tidak mengetahui dan pikiran tidak melihat. Demi menunjukkan kesalahan dalam pernyataan Ananda, Buddha kembali ke lokasi pertama, dan bertanya pada Ananda apakah pintu dan jendela bisa melihat. Buddha lebih jauh lagi menunjukkan bahwa bila mata dapat melihat, maka selama mata dalam kondisi baik, mata dapat berfungi setelah tubuh mati.

(2b) Kemudian Buddha kembali menjajaki kemungkinan sifat-sifat substansi pikiran yang diajukan Ananda. Kembali ke contoh cubitan, Buddha menyatakan bahwa bila pikiran terdiri dari substansi tunggal yang menyebar dalam tubuh, maka cubitan seharusnya dirasakan tidak hanya di lokasi sebenarnya, tetapi juga di mana pun pikiran menyebar (yaitu seluruh tubuh). Bila di satu sisi pikiran terdiri lebih dari satu substansi, maka, seperti yang telah dibahas di atas (tempat keempat), tidak mungkin hanya ada satu orang. Apabila pikiran terdiri dari substansi tunggal dan tidak menyebar secara menyeluruh, maka saat Anda menyentuh kepala dan kaki pada saat yang sama, Anda tidak akan menyadari keduanya pada saat yang sama. Dengan demikian, hipotesis lokasi yang kelima gagal.


Lokasi keenam
Sekarang, Ananda menyarankan bahwa pikiran terletak di tengah-tengah, tanpa menyatakan dengan jelas apa yang ia maksudkan. Buddha lalu mendemonstrasikan bahwa lokasi dari apapun yang memiliki penampilan (?representasi?) hanya sesuatu yang relative, jadi lokasi di tengah-tengah tidak dapat dianggap sebagai suatu lokasi yang jelas dan spesifik. Keberadaan tanpa ?representasi?, sebut Buddha, adalah sama dengan ketiadaan. Bagaimanapun juga, Ananda lalu menegaskan pernyataannya dan mengatakan bahwa yang ia maksud ?di tengah-tengah? adalah di antara indera persepsi dan objek dari persepsi (visaya). Ia menyatakan bahwa karena Buddha mengajarkan bahwa kesadaran muncul di antara keduanya, maka kesadaran pastilah merupakan lokasi pikiran.
Buddha menghancurkan argument Ananda dengan pemikiran mengenai apakah substansi pikiran mengandung indera dan objeknya. Di sini, Buddha kembali ke sebuah argument yang mirip sebelumnya (lokasi keempat) tentang ketidakmungkinan pikiran terdiri dari dua substansi berbeda yang ?sadar?. Tapi dalam kasus ini, satu substansi, indera, sadar, dan yang lainya, objek dari persepsi, tidak. Bila pikiran mengandung keduanya, maka ?benda dan substansi (pikiran) menjadi campuran yang kacau.?


Lokasi ketujuh

Dalam usaha terakhir untuk mencari lokasi pikiran, Ananda menyarankan bahwa ketidakmelekatan terhadap segala sesuatu adalah pikiran, dan ia tidak dapat dikatakan memiliki lokasi tertentu. Bagaimanapun, Buddha menunjukkan pada Ananda bahwa ketidakmelekatan mengacu pada sesuatu yang ada dan memiliki ciri-ciri (seperti ?tidak melekat? itu sendiri) dan lalu suatu lokasi. Memiliki suatu lokasi tertentu adalah sebuah bentuk kemelekatan, maka argument Ananda runtuh.



THE SHURANGAMA-SUTRA (T. 945):
A REAPPRAISAL OF ITS AUTHENTICITY
by Ronald Epstein
(Presented at the annual meeting of the American Oriental Society,
March 16-18, 1976, Philadelphia, Pennsylvania.)

Apa yang ingin saya sampaikan dalam beberapa menitke depan adalah memaparkan dengan sangat singkat penelitian saya mengenai keaslian sutra Shurangama. Walau materinya agak rumit, saya akan mencoba semamu saya untuk menyingkat tanpa mengurangi poin-poin penting. Bagaimanapun juga, memang penting menyingkat detail-detail dan segera membahas materinya.
*
Hal pertama yaitu sutra yang saya bahas bukan sutra Shurangamasamadhi dalam dua rol, yang diterjemahkan oleh Lamotte, tetapi, dalam judul panjangnya, Ta-fo-ting-ju-lai-mi-yin-hsiu-cheng-liao-I-chu-p?u-sa-wan-hang-shou-leng-yen-ching, yang saya terjemahkan sebagai: ?Sutra Puncak Mahkota dari Buddha yang Agung, Makna Akhir dari Verifikasi Pelatihan Diri dalam Sebab-sebab Rahasia para Tathagata, dan Shurangama dari semua sepuluh ribu praktek Bodhisattva.? Terdiri dari sepuluh rol, dan menurut tradisi diterjemahkan tahun 705 oleh bhiksu India tak dikenal bernama Po-la-mi-ti (yang mungkin bisa direkonstruksi sebagai ?Paramiti?) dan yang lainya; kemudian dipoles dan diedit oleh mentri Ratu Wu Tze-t?ien dalam pengasingan, Fang Yung.
Salah satu tema utama sutra ini menegaskan dalam pengetahuan Dharma bahwa ajaran Buddha tidak berarti tanpa disertai kemampuan meditative atau kekuatan samadhi. Juga ditekankan pentingnya pantangan moral/sila sebagai dasar dari sang Jalan. Tema ini dimunculkan dalam pembukaan sutra situasi Ananda yang terpelajar, yang mengingat semua yang diajarkan Buddha tapi tidak pernah meluangkan waktu untuk duduk bermeditasi, jatuh dalam mantra jahat dan dalam keadaan kritis tergoda oleh seorang pelacur, dan diselamatkan oleh mantra yang dirapalkan Buddha. Tema mengenai bagaimana seseorang dengan efektif melawan pengaruh sesat yang mempengaruhi pikiran seseorang diteruskan sepanjang sutra.
*
Bagian berikutnya, lokasi dari pikiran, dibedakan antara pikiran yang bercirikan kesadaran diskriminasi dan pikiran sejati, yang ditemukan di pelbagai lokasi (yaitu semua dharma). Termasuk juga diskusi metodologi meditasi dalam hal pentingnya memilih indera yang tepat dan benar sebagai sarana meditasi; instruksi untuk konstruksi Bodhimandala Tantra, mantra panjang, penjelasan lima puluh tujuh tingkatan Bodhisattva, penjelasan hubungan karma antar alam kelahiran (gati), dan pengolongan lima puluh keadaan sesat berhubungan dengan praktek. Secara umum, sutra ini memiliki rasa Tantra/tathagatagarbha dengan bumbu Yogacara.
Sejak awal dinasti Sung, sutra ini dipelajari secara luas oleh semua sekolah Buddhis China dan khususnya popular di antara gerakan-gerakan sinkretik (filosofi dan pemikiran bebas yang menyatukan agama dan aliran-aliran). Saya telah menemukan referensi 127 komentar berbahasa China tentang sutra ini, terhitung sedikit untuk sutra yang semikian panjang, termasuk 59 dari dinasti Ming saja, saat ia paling popular. Sutra ini dikaitkan dengan pencerahan Master Ch?ang-shui Tzu-hsuan dari dnasti Sung dan Master Han-shan Te-ching dari dinasti Ming, keduanya dari aliran Ch?an.
Sekarang mari kita membahas kontroversi akan keasliannya. Bukti paling awal yang ditemukan di Jepang. Di tahun 754 kontroversi mengenai ajaran sutra ini pecah antara dua sekte di Nara. Biarpun perdebatan diselesaikan dengan pengakuan keaslian, perdebatan terjadi lagi tahun 772, ketika ada rombongan yang dikirim ke China untuk mengumpulkan informasi. Ketika mereka kembali, pemimpin mereka mengatakan bahwa sutra itu adalah pembajakan oleh Fang Yung. Sutra ini hampir saja dibakar di depan umum ketika seorang bhiksu lain pulang setelah lama tinggal di China dan mengatakan bahwa Kaisar China baru saja meminta kuliah sutra Shurangama di istana; sehingga pada menit terakhir ia selamat walaupun tidak pernah popular di Jepang. Kita punya sedikit informasi yang sulit didapat mengenai apa yang terjadi di Jepang, sehingga kita bisa lebih dari sekedar berspekulasi. Dan sangat menarik mencatat bahwa tanggal terjadinya dua kontroversi itu berhubungan dengan perubahan besar politik yang mempengaruhi komunitas Buddhis di sana.
*
Tampaknya, ada semacam kontroversi setidaknya diantara sebagian orang China dari masa yang lebih awal. Referensi pertama sutra ini yang ditemukan di China dibuat oleh seorang Neo-confusianis yang Anti-Buddhis, Chi Hsi, yang berkeras menyatakan sutra ini pembajakan. Lalu, di abad ketiga belas, Dogen, yang disebut pendiri Soto Zen, menyebutkan bahwa gurunya Ju-ching tidak menyukainya karena sutra ini dihubungkan dengan gerakan sinkretik Buddhis (san chiao i chih). Referensi pertama kontroversi ini yang ditemukan dalam Buddhisme China muncul di komentar-komentar Ming.
Mungkin akan lebih membantu Anda dengan membeberkan pendukung dua sisi secara singkat. Pengakuan yang kita miliki akan keaslian sutra ini ditemukan dalam seluruh tradisi Buddhis Orthodox China, bagian dari komunitas Buddhis awal di Jepang, dan sarjana modern, Lo Hsiang-lin dan mungkin von Stael-Holstein, yang tidak sepenuhnya berkomitmen. Yang menentang keaslian sutra ini adalah bagian lain dari komunitas Buddhis Jepang, juga Dogen, Chu Hsi, dan beberapa Neo-konfusianis lainnya; di antara sarjana modern kita temukan Mochizuki, Demieville, dan Lamotte. Mochizuki, Demieville dan Lamotte, semuanya berturut-turut kedengarannya sangat mengagumkan, tapi kenyataanya semua berdasarkan sebuah artikel yang terburu-buru oleh Mochizuki, yang jelas sekali tidak meluangkan waktu yang panjang dalam mempelajari sutra, sebuah catatan kaki yang panjang dalam Le Concile de Lhasa oleh demieville, yang secara dasar mengikuti Mochizuki, dan hanya sebuah pernyataan singkat oleh Lamotte yang menyetujui demieville. Dengan kata lain, tidak ada diantara mereka yang melakukan penelitian sistematis sutra ini yang ekstensif.
Walaupun saya mungkin meneliti sutra ini dalam waktu yang lebih lama dari mereka di atas, saya dapat dengan beratnya menawarkan lebih dari sebuah laporan sementara dalam hal pernyataan akhir tertentu mengenai isu-isu ini, yang akan saya coba uraikan sekarang:

1. Mochizuki dkk mencoba menunjukkan dalam dua cara bahwa pewarisan dan penerjemahan tradisional sutra ini adalah kebohongan untuk menutup-nutupi pemalsuan oleh orang China. Pertama, mereka menekankan bahwa fakta bahwa terdapat kontroversi akan keaslian sutra ini di China maupun Jepang. Kedua, mereka menunjukkan adanya kontradiksi dalam dua katalog pertama yang dapat ditemukan tentang transmisi dan penerjemahan sutra ini, yang ditemukan di Hsu-ku-chin-I-chin-t?u-chi (T.2152) dan K?ai-yuan-shih chiao-lu (T.2154), keduanya oleh Chih-sheng, sebuah catatan dan katalog yang dapat diandalkan secara umum yang mengakui keaslian Shurangama. Kedua katalog dipublikasi di tahun yang sama, 730. Memang benar bahwa ada sejumlah inkonsistensi tertentu yang menimbulkan pertanyaan, tetapi pengamatan yang tajam dan hati-hati terhadap kejadian yang kurang bermakna tidak lantas membuatnya menjadi palsu. Lebih lanjut, sulit memahami mengapa mereka melihat sutra ini lebih menyerupai pemalsuan dengan sejarah yang direkayasa untuk memicu catatan yang bertentangan; dari pada sebuah karya asli.

2. melalui pemeriksaan fakta internal, mereka juga mencoba menunjukkan bahwa sutra itu dikarang di China. Ini betul-betul berada dalam wilayah fakta internal bahwa kasus ini harus diputuskan dalam satu cara. Argumen mereka meliputi empat area: bahasa, inkonsistensi ajaran, meminjam karya lain, dan apa yang saya sebut ?berburu Taoisme? dan referensi karya China lain.

a. Bahasa. Keduanya setuju bahwa bentuk bahasanya lebih mendekati bahasa China klasik dari pada terjemahan lain. Secara tradisi, hal ini dikarenakan polesan dan pengeditan teliti secara ekstensif oleh Fang Yung, yang seperti telah disebutkan, adalah seorang mentri Wu Tzu-t?ien dan diasingkan ke Canton tahun 705, tempat ia disebutkan turut berperan serta dalam proses menerjemahkan. Keindahan bahasa memunculkan kesan pertama yang berlebihan juga sering merupakan sebab isu-isu lain dinilai berlebihan.

b. Inkonsistensi ajaran. Banyak hal yang ditunjukkan adalah berdasarkan informasi yang salah maupun ambigu. Area sutra yang tidak berhubungan dengan tradisi dari teks-teks lain yang telah dikenal baik adalah salah satunya yang tidak mengharapkan seorang China yang cukup berpengalaman akan membuat kesalahan dalam mengarang suatu karya. Contohnya, inkonsistensi sederhana dalam p?an chiao (literaturnya ?menilai ajaran?) , yang tidak konsisten dalam kronologi tradisional ajaran Buddha, atau di area lain, inkonsistensi mengenai siswa utama Buddha. Inkonsistensi demikian dalam hal sederhana begitu bertolak belakang dengan pemahaman ajaran yang luar biasa mendalam dari bagian sutra yang lebih besar. Tentu saja, yang disebut inkonsistensi itu diketahui luas dan tidak dapat dijadikan pedoman dalam penilaian keaslian.

c. Meminjam. Mochizuki mengulangi pemikiran logis akan inkonsistensi itu bahwa bila ada ide tertentu dalam sutra Shurangama juga diketemukan dalam sutra lain, hal itu membuktiakn bahwa pengarangnya meminjam langsund ide dari karya lain, maka Shurangama adalah pembajakan. Persamaan munkin membantu dalam menyampaikan pada kita tentanf hubungan ajaran dalam pelbagai karya atau bahkan mengenai perbangingan perkembangan secara histories, tetapi mereka tidak membuktikan apapun dalam hal keaslian.

d.?Berburu Taoisme? dan referensi karya China lain. Dengan pengecualian satu seksi yang bermasalah mengenai hsien, suatu istilah yang dalam teks Buddhis dapat disamakan dengan rsi atau siddha, yang secara literal merujuk pada Immortal/mahluk abadi dalam Taoisme. Saya telah menemukan ide yang Mochizuki dan Demieville sebut ajaran Tao dalam karya Buddhis lain. Seksi Hsien dalam Shurangama sangat singkat dan padat dan dapat menjelaskan dengan mudah translasi adaptasi dari ide Buddhisme Tantra. Semua area dari hubungan ajaran antara nei-tan Taois atau yang disebut ?alkemi dalam? dan Tantra Buddhis awal tidak jelas, dan sampai kita mengetahui lebih dalam mengenai keduanya, isu ini tidak dapat diselesaikan dengan memuaskan.
Berkaitan dengan karya China lain, ada banyak macam referensi pendek yang tersebar disepanjang teks, tetapi, sebagaimana mengenali sumber karya aslinya, mereka juga merupakan cirri-ciri dari sebuah gaya penerjemahan yang menyubtitusi hal-hal yang serupa, yang cocok dengan ilmu tata bahasa literature China.

3. ayo sekarang menuju sisi lain dan mengamati sejenak apa yang dapat kita temukan yang tampak mendukung bahwa asalnya India:

a. Banyak sekali huruf Sanskrit yang muncul dalam teks, termasuk beberapa yang jarang ditemukan dalam terjemahan Mandarin lain. Lalu, system translitersinya tidak tampak mengikuti karya lain.

b. Posisi umum ajaran sutra ini, yang merupakan Tantra/tathagatagarbha, sesuai dengan apa yang kita ketahui popular di Nalanda saat itu.

c. Bagian besar lain, termasuk teks inti sutra, jelas-jelas mengandung materi-materi dari India. Dapat dibayangkan, beberapa kalimat yang direkonstruksi dari teks telah diterjemahkan ke bahasa mandarin, walaupun memberikan inti dan kerumitan materi, untuk mengarang teks seperti itu berarti bahwa kemampuan pengarang karya ini sangat amat luar biasa. Mengenai porsi lain seperti bodhimandala dan mantra, tidak diragukan lagi berasal dari India.

4. Analisis awal fakta-fakta internal kemudian menandakan bahwa sutra ini kemungkinan sebuah kompilasi materi-materi India yang mungkin memiliki sejarah literature yang panjang. Harus dicatat juga bahwa untuk sebuah kompilasi, termasuk juga bagaimana sutra ini diperlakukan oleh beberapa komentator tradisional, sutra ini memiliki keindahan struktur yang bukan bagian dari literature China dan bersinar dan dapat dengan jelas dibedakan dari tata bahasa klasik China yang sifat perhatiaannya terpusat. Inilah salah satu kesulitan dalam teori bahwa sutra itu palsu karena sangat sulit menemukan seorang pengarang yang menguasai baik struktur dan bahasa dan juga mengenal intrik-intrik ajaran yang tersaji dalam sutra. Karena itu, tmapaknua asal sutra ini adalah India, walaupun jelas sekali teksnya diedit di China. Walaupun begitu, masih perlu dilakukan penelitian sistematis yang lebih jauh lagi agar semua detail konstruksi teks yang rumit lebih jauh dan mendalam lagi.

5. Sekarang jika Anda berkenan, saya ingin mengkritik diri sendiri sebentar. Bagi saya, poin-poin konsentrasi pada masalah keaslian, sejauh yang saya teliti, membiaskan pandangan kita sehingga mempertanyakan teks ini, dan mungkin orang lain dalam hal bahwa isu ini meledak keluar dari jalur dan mengarahkan perhatian kita menjauh dari, bagi saya, apa yang mungkin merupakan isu yang vital.
*
Apa yang saya maksud adalah, dalam percobaan untuk sampai pada pemahaman akan peran teks ini dalam perkembangan Buddhisme di China, segera setelah kita menentukan bahwa ia tidak mengandung ide-ide khusus yang berasal dari China, yaitu tanpa melihat siapa pengarang aslinya, bahwa semua ide yang terkandung merujuk langsung ke dalam arus perkembangan ajaran Buddhisme India, yang kemudian, paling tidak dalam satu sudut pandang, seluruh isu keaslian menjadi tidak penting.
Yang paling penting dalam memahami peran Shurangama di China adalah bagaimana ia dipandang dan dimengerti oleh komunits Buddhis China. Saya sangat jelas tidak punya waktu yang cukup sekarang untuk mempresentasikan sistematika subjek yang rumit ini, tapi saya akan menyebutkan beberapa poin:
Pertama, saya telah mengindikasikan bahwa isu sejarah dan keaslian berawal dari kontroversi ajaran dan mungkin juga politik di Jepang dan kontroversi gerakan sinkretik Buddhis di China zaman Sung, dan bahwa serangan oleh Chu Hsi, yang tidak diragukan lagi mencemaskan dampak dari popularitasnya yang meningkat. Bagaimanapun, ia diterima oleh sebagian besar komunits Buddhis China. Saya tahu tidak ditemukan ada pernyataan langsung oleh bhiksu China bahwa sutra ini palsu.
Jika kita ingin mengerti pemikiran komunitas yang membuat teks ini diterima, penting untuk melihat criteria yang sangat berbeda yang digunakan pengikut Buddha di China dalam menentukan keaslian. Sebagai penutup, izinkan saya memberi satu contoh, yang saya harapkan provoklatif.
Seperti yang saya sebutkan, Shurangama dikaitkan dengan pencerahan Master Ch?an yang terkenal, Han-shan Te-ch?ing dari dinasti Ming. Menurut autobiografinya, ia mengungakan sutra ini untuk mengklarifikasi pencerahannya. Ia menjelaskan dalam autobiografinya bahwa ia belum pernah mendengar kuliah tentang sutra ini dan ia tidak mengerti apa-apa mengenai makna sutra. Lalu, menurut catatannya, ia mempelajari sutra ini menggunakan kekuatan yoga pratyaksa, atau persepsi langsung yang lurus, dan menyatakan bahwa seseorang tidak mungkin dapat menagkap makna sutra ini bila memunculkan bahkan hanya sedikit kesadaran membedakan. Setelah delapan bulan terus-menerus mempelajarinya, ia mengatakan bahwa ia memahami secara menyeluruh sutra ini bahwa sutra ini bebas dari keraguan(jauh dari meragukan=kebenaran).
Dengan kata lain, saya piker kita dapat mengatakan bahwa, Master Ch?an Han-shan melihat sutra ini sebagai jejak pikiran yang telah melenyapkan seluruh kesadaran membedakan. Tentu saja, master Han-shan tidak memusingkan ide-ide, seperti sarjana barat modern, tentang sejarah perkembangan teks Buddhis; dan ia meyakini sutra ini diucapkan langsung oleh Buddha Sakyamuni sendiri, tapi bukan itu poinnya. Yang penting di sini adalah bahwa pembuktian pengalaman han-shan bahwa teks itu ditulis pada keadaan kesadaran tingkat tanpa-diskriminasi, memperkuat keyakinannya akan keaslian teks sutra ini. Criteria yang demikian melampaui isu-isu sejarah dan filosofi yang sempit yang telah mendominasi pembelajaran keaslian sutra oleh sarjana modern. Saya melihat bahwa pembelajaran lebih jauh dalam criteria tradisi seperti pengalaman pribadi ini adalah sebuah awal dari evaluasi terhadap keasliannya, atau tanpa hal ini, dalam penelitian metodologi dan tujuan Budhologi modern.

Labels: , ,

1 Comments:

Blogger Wejangan Guruku said...

Sudah tersedia terjemahan lengkap Sutra Surangama Bahasa Indonesia.
Silakan kunjungi:

https://surangama.wordpress.com
atau
http://www.surangama.web.id

Untuk nonton video Sutra Surangama Bab I , silakan klik:

https://www.youtube.com/watch?v=E1c3Z4yBvfY

Semoga semua makhluk berbahagia!

June 5, 2018 at 2:35 AM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home